“Kereen” Itulah kesan pertama yang Budi
rasakan ketika ia masih kanak-kanak dan melihat para pria dewasa berpakaian
rapi menuju masjid untuk menunaikan sholat Jumat. Mereka memakai baju koko dan
sarung dengan sajadah yang diselempangkan di pundak mereka. Budi pun pernah
meniru style tersebut - membawa sajadah di atas pundak – yang entah mengapa (menurutnya):
itu keren. Tapi sekarang ia jarang membawa sajadah dari rumah karena ia
berpikir lantai masjid yang digunakan sebagai tempat untuk sujud sudah dialasi
dengan sajadah panjang ataupun karpet yang bersih dan suci. Itu sudah cukup.
Hingga saat ini, ada bermacam-macam sajadah
dengan berbagai desain, corak dan motif. Ada sajadah yang berukuran sangat
kecil, bahkan ada yang sangat besar. Sajadah ukuran besar seharusnya bisa
dipakai untuk sholat dua orang, tapi tak jarang kita jumpai sajadah berukuran
jumbo tersebut digunakan oleh satu orang karena memang setiap orang sudah
membawa sajadah masing-masing ketika sholat berjamaah. Hal ini menyebabkan
jarak antara satu jamaah dengan jamaah lainnya terlalu renggang. Kerenggangan
shaff ini juga menimbulkan ketidakrapian barisan, tidak lurus. Padahal, bukankah kita harus
merapatkan barisan dalam sholat?
“Dulu kami (para sahabat) merapatkan antara pundak-pundak dan kaki-kaki kami (dalam shalat)” ( Hadits Shahih Bukhari dari riwayat sahabat Anas ).“Rapatkan shaf kalian, luruskan pundak-pundak, tutup kerenggangan jarak kalian, lemah lembutlah terhadap saudara-saudara kalian dan jangan biarkan syetan menyelinap di antara rengggang shaf kalian.” (Sunan Abu Daud dengan sanad shahih).
Menurut hadist tersebut, yang dimaksud dengan merapatkan
barisan adalah dengan cara merapatkan pundak dan kaki dengan posisi garis yang
sama (lurus). Namun, pada kenyataannya, fenomena yang kerap terjadi justru yang
dirapatkan adalah sajadah, bukan pundak maupun kaki. Mengingat sajadah yang
banyak digunakan saat ini adalah yang berukuran besar, hal ini menciptakan
kerenggangan luar biasa pada shaff sholat berjamaah.
Mungkinkah karena fenomena sajadah di atas
dapat dikatakan sebagai ilustrasi kondisi masyarakat saat ini, di mana
persatuan dan kesatuan amat mudah terpecah belah sehingga mudah diadu domba?
Mungkinkah ada sosok iblis yang berdiri di balik sajadah-sajadah lebar itu? Wallahu a’lam.
Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan
karpet hijau (lihat gambar) yang sering kita jumpai di kebanyakan masjid. Dan mungkin
sobat sekalian sering menjumpai beberapa jamaah yang berdiri (ketika sholat)
dengan berpatokan pada gambar masjid yang terdapat di karpet hijau tersebut.
Mereka berdiri di tengah-tengah gambar karpet tersebut sehingga menyisakan
jarak yang terlalu renggang antara satu jamaah dengan jamaah lainnya. Kerenggangan
shaff ini tentu menimbulkan ketidakrapian barisan dalam sholat berjamaah. Padahal, bukankah kita harus
merapatkan barisan dalam sholat?
“Rapatkan shaf kalian, luruskan pundak-pundak, tutup kerenggangan jarak kalian, lemah lembutlah terhadap saudara-saudara kalian dan jangan biarkan syetan menyelinap di antara rengggang shaf kalian.” (Sunan Abu Daud dengan sanad shahih).
Mungkinkah karena fenomena di atas dapat
dikatakan sebagai ilustrasi kondisi masyarakat saat ini, di mana persatuan dan
kesatuan amat mudah terpecah belah sehingga mudah diadu domba? Sobat sekalian,
mari kita sama-sama benahi sholat kita. Karpet masjid ataupun sajadah yang kita
bawa dari rumah jangan dijadikan territorial kita dalam menjalankan sholat.
Jangan biarkan syetan menyelinap di antara shaff kita.. Okay? :)